Beberapa
hari lalu, saya dihubungi oleh rekan seprofesi saya untuk bertemu salah satu
akademisi, tujuannya adalah untuk meminta tanggapan kepada akademisi terhadap
pilwako 2013 ini, salah satu akademisi yang bergelar Docktor yang bergerak dibidang Politik.
Sepanjang
jalan menuju rumah akademisi itu, dengan mengendarai Motor Vega R, saya mencoba
untuk merangkai pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan ditanya pada saat
bertemu dengan Magister tersebut.
Setelah
sampai dirumah yang cukup mewah, sesuailah dengan ukuran pangkat oleh megister
itu, berjabat tangan dan senyum sapa, rekan saya yang bernama Eka memang sudah
kenal dekat dengannya, pembicaraan dimulai dengan kata pengantar basa basi, “
bagaimana kabar” dan seterusnya, setelah itu, diperkenalkan lah saya kepada
akademisi itu.
Saya
memulai percakapan dengan suhu politik yang memang panas, maksud kedatangan
kami disini adalah dengan meminta padangan anda terhadap pilwako 2013, apa pandangan anda?, Tanya saya.
Tokoh
Akademisi yang bergelar Doktor itu pun, mengatakan “wah ini bukan rana saya, saya hanya dua
tahun belajar politik, bagi saya, ilmu
ini belum ada apa-apanya “ terang ia kepada saya.
Maksud
bapak seperti apa?. Tanya ku lagi.
Begini
de, “ saya ini hanya mempelajari ilmu politik mungkin lebih kepada
Psikologinya” jawabnya Doktor.
Nah,
berarti kedatangan kami memang sudah tepat pak doctor, “secara penilitian
dilapangan, menjelang pilwako,sangat berdampak pada psikologi masayarakat,
khususnya para Pegawai Negeri, salah satu contoh, jika setiap Pegawai Negeri
Sipil diarahkan untuk memilih kembali kepala daerah yang saat ini menjabat
walikota, sepertinya mereka dikunkung atau berada digenggaman para penguasaha
itu, bahasa kasarnya mereka takut untuk memilih Calon lain selain yang menjabat
walikota saat ini, apakah ini tidak
adanya kebebasan demokrasi ? inikan memang jelas berdampak pada psikologis? “. Tanya saya lagi dengan nada
yang penuh harap.
Jawabnya
“ De, kita sudahi saja pembicaraan ini, saya hanya takut untuk bicara politik,
saya sarankan untuk pergi ke teman saya, mungkin dia bisa bantu” tutupnya.
Setelah
itu, saya dan Eka pergi dan pamitan.
Saya
tidak habis fikir, Akademisi yang bergelar Doktor, Kenapa takut untuk
memberikan pandangannya terhadap politik,ada apa sebenarnya?, apa mungkin Ia
benar tentang kesadaran Ilmunya,atau mungkin Ia juga diberada digenggaman
penguasa itu, sehingga ia takut untuk memberikan pandanganya.
Akademisi
yang merupakan gerbang atau pilar
demokrasi saat ini tak berkutik, maka izinkan saya untuk meminjam kalimat Naga bonar "apa kata dunia".