Sabtu, 23 Februari 2013

Tendensi Politik Terhadap Akademisi




Gorontalo- Menjelang pilwako disalah satu daerah memang sangat memprihatinkan, setiap saat ada-ada saja tokoh politis yang coba mengecam para oknum masyarakat yang mencoba untuk menegakan demokrasi di daerah itu sendiri.

Beberapa hari lalu, saya dihubungi oleh rekan seprofesi saya untuk bertemu salah satu akademisi, tujuannya adalah untuk meminta tanggapan kepada akademisi terhadap pilwako 2013 ini, salah satu akademisi yang bergelar Docktor yang bergerak dibidang Politik.

Sepanjang jalan menuju rumah akademisi itu, dengan mengendarai Motor Vega R, saya mencoba untuk merangkai pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan ditanya pada saat bertemu dengan Magister tersebut.

Setelah sampai dirumah yang cukup mewah, sesuailah dengan ukuran pangkat oleh megister itu, berjabat tangan dan senyum sapa, rekan saya yang bernama Eka memang sudah kenal dekat dengannya, pembicaraan dimulai dengan kata pengantar basa basi, “ bagaimana kabar” dan seterusnya, setelah itu, diperkenalkan lah saya kepada akademisi itu.


Saya memulai percakapan dengan suhu politik yang memang panas, maksud kedatangan kami disini adalah dengan meminta padangan anda terhadap pilwako 2013,  apa pandangan anda?, Tanya saya.

Tokoh Akademisi yang bergelar Doktor itu pun, mengatakan  “wah ini bukan rana saya, saya hanya dua tahun belajar politik,  bagi saya, ilmu ini belum ada apa-apanya “ terang ia kepada saya.

Maksud bapak seperti apa?. Tanya ku lagi.

Begini de, “ saya ini hanya mempelajari ilmu politik mungkin lebih kepada Psikologinya” jawabnya Doktor.

Nah, berarti kedatangan kami memang sudah tepat pak doctor, “secara penilitian dilapangan, menjelang pilwako,sangat berdampak pada psikologi masayarakat, khususnya para Pegawai Negeri, salah satu contoh, jika setiap Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk memilih kembali kepala daerah yang saat ini menjabat walikota, sepertinya mereka dikunkung atau berada digenggaman para penguasaha itu, bahasa kasarnya mereka takut untuk memilih Calon lain selain yang menjabat walikota saat ini,  apakah ini tidak adanya kebebasan demokrasi ? inikan memang jelas berdampak pada  psikologis? “. Tanya saya lagi dengan nada yang penuh harap.

Jawabnya “ De, kita sudahi saja pembicaraan ini, saya hanya takut untuk bicara politik, saya sarankan untuk pergi ke teman saya, mungkin dia bisa bantu” tutupnya.

Setelah itu, saya dan Eka pergi dan pamitan.

Saya tidak habis fikir, Akademisi yang bergelar Doktor, Kenapa takut untuk memberikan pandangannya terhadap politik,ada apa sebenarnya?, apa mungkin Ia benar tentang kesadaran Ilmunya,atau mungkin Ia juga diberada digenggaman penguasa itu, sehingga ia takut untuk memberikan pandanganya.

Akademisi yang merupakan gerbang atau pilar  demokrasi saat ini tak berkutik, maka izinkan saya untuk meminjam kalimat Naga bonar "apa kata dunia".














Minggu, 10 Februari 2013

Ketertarikan Pada Sebuah Buku

Assalamualaikum.Wr.Wb.
Salam Robayat bo Utat.

Tak sengaja saya sempat membuka sebuah situs dari salah satu anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka, Yang juga mempunyai latar belakang Aktris 90an sejak itu.
Tulisan yang terpapar dalam sebuah Website itu merupakan   persepsinya terhadap “Kekerasan Negara” Membuat saya termenung dan menganggukan kepala.
Ada beberapa hal yang ia tulis, namun, saya coba untuk memperkecil lagi wilayah maksud dari buku tersebut,  diantaranya ada empat kekerasan yang dibuat/direkayasa oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam konflik disebuah negara, diantaranya :
  • Represi yang dilakukan secara langsung oleh aparat negara dengan berbagai sarana koersifnya.
Menurut admin :   Ini sebuah  kejadian atau persitiwa yang memang terjadi begitu saja. Atas dasar dengan mempunyai fasilitas yang mampu “menakuti-nakuti” rakyat sehingga sewenang-wenang, bisa membuat  gerakan yang radikal oleh pihak aparat, saya setuju dengan poin pertama. 
  •   Melatih paramiliter menjadi kelompok setia kepada penguasa untuk melakukan tugas-tugas kotor (kriminal) dengan membungkam, mengintimidasi, memeras, meneror. menculik, sampai membunuh.
Menurut Admin :  Hal ini tentunya tak asing lagi ditelinga, kita lihat Hitler dengan Ideologinya, dimana Ia mampu untuk merebut negara jajahannya hanya dengan memanfaatkan fasilitas militer dan aparat. Bisa hal yang mungkin  ini terjadi di indonesia, dan mungkin memang terjadi, putar kembali fikiran anda tentang tragedi tumbangnya sukarno, dan G 30SPKI. Sungguh analisis yang tajam. Saya setuju dengan poin kedua.
  • Melatih para kriminal (preman) untuk melaksanakan proyek insidental seperti kerusuhan,                      penculikan,                  atau pembunuhan.
Menurut Admin : Melihat dari skala indonesia mungkin belum banyak yang mengetahui tentang peristiwa seperti ini, tapi bukan berarti itu tidak pernah ada, salah satu contoh di daerah Indonesia bagian Tengah, disebuah daerah dengan semboyan Adat bersendikan  Sara dan sara bersendikan kitabulah. Sudah menjadi hal yang bebas dikalangan masyarakat ,dimana walikota mempunyai sekolompok orang yang berada di garda depan untuk melawan siapa saja yang berani membangkang yakni premanisme. Saya setuju dengan poin ke tiga.
  • .  Menciptakan konflik horisontal antarkelompok masyarakat yang berbeda etnis/agama.
Menurut Admin : Sangat jarang memang orang bisa membuat rekayasa seperti ini, harus  memerlukan kondisi yang matang tapi apapun itu, namanya kepentingan semuanya pasti bisa dikorbankan. Tragedi poso, tragedi maluku. Papua, semuanya bisa jadi hanya rekayasa. Sangat setuju.
Sekian dulu  catatan tanpa makna dan analisis yang bangkung.
Pahlawan tanpa tanda pengenal

Senin, 04 Februari 2013

Spirit Demo tergantung pada sebuah "Es"

Es merupakan sebuah  makanan yang dilahap pada saat ketika orang tersebut haus, Akibat terlalu lama dalam  aktivitas yang terkontak langsung dengan Matahari sehingga setiap orang merasa dahaga selain Air, juga ingin merasakan sebuah  es demi mereda rasa itu. Kurang tergantung, rasa apa yang ingin anda pilih untuk memenuhi kebutuhan rasa “butuh” tersebut.

Beberapa akhir ini, saya selalu melihat sosok pedagang Es ditengah-tengah para demontrasi, sejauh yang saya kenal, Ia merupakan salah satu bagian dari para demonstrasi.

Namun, kali ini saya tidak akan membahas tentang lebih detail lagi terkait demontrasi tersebut, yang saya lihat adalah perjuangan tentang pedagang.
Setiap kali  demontrasi, ia selalu ada ditengah-tengah, membawa sebuah tempat es yang berwarna merah muda dan menggunakan baju  seadanya serta penutup kepala (topi)  sambil berteriak Es..es..es..es diantara rerumbunan masa.

Suaranya pun  tak  kalah kuat dengan para masa demontrasi dengan menggunakan  perangkat aksi, seperti megaphone dan speaker aktiv, semakin kuat para Korlap berteriak dengan semangat, maka semakin kuat pula suara dari pedagang itu dengan lantang mengatakan Es..es..es..es. !!
Saya tak pernah habis fikir, disaat dan kondisi seperti ini masih ada yang memanfaatkan situasi, padahal kan demontrasi itu selalu identik dengan Anarkis, bisa jadi, hal-hal yang tidak mungkin akan terjadi.
Demontrasi yang memakan waktu berjam-jam bahkan sehari, ternyata membuat mereka kewalahan dan haus, disaat itu juga pedagang itu memanfaatkan situasi dengan menawawarkan Esnya kepada rerumbunan ,masa, “ es pak”, katanya. Ia menambahkan, pedapatan saya untuk Demo ini bisa lumayan, “ pendapatan kita kurang tergantung berapa lama mereka berteriak” Kata ia, disela-sela menawarkan Es kepada saya.
Selanjutnya dari titik aksi ke satu, kedua sampai pada titik aksi demontrasi terkahir, Ia selalu ada dalam setiap pergerakan.

Dari pantauan saya selama dalam pengawalan Aksi, Ia adalah orang yang seharusnya diberi perhatian, sebab dengan memakan esnya sangat membantu untuk mengisi kembali sprit para demontrasi, jadi baik korlap, maupun masa yang ada,Tentunya  akan membeli Es nya demi mereda Rasa haus.  Demi membangkitakan kembali rasa demontrasi itu, ditolong dengan sebuah es buatan pedagang Yang tak ingin Dikenal namanya.


Minggu, 03 Februari 2013

Menerobos “Ruang” hanya dengan “waktu 5 menit”



Beberapa hari lalu saya sempat membaca sebuah buku dengan judul “Menaklukan Gunung-memoar pencari tuhan”, awalnya saya membeli buku itu, hanya sebatas pengisi sebuah kesepian yang setiap  hari saya rasakan.


Pulang kerumah, merapikan tempat tidur dengan posisi bersandar dan dialasi bantal ditemani kopi dan beberapa batang Rokok merek Local (Ambang Baru),setelah itu saya mulai membaca buku yang baru kubeli itu, seperti biasa sifat buku yakni beberapa lembaran pertama hanya berbicara tentang mukadiman, lembar perlembar saya baca, tibalah pada lembaran tengah entah halaman berapa, seakan-akan tahu atau mungkin mampu menjawab sebuah pertanyaan yang saya sendiri pun tak tau apa jawabnya..tentang cinta,tentang hidup,tentang tuhan, manusia dan Alam, Hhaa..

Persoalan-persoalan itu berputar difikiran saya entah kenapa, apa mungkin Karena semasa saya ikut organisasi baik extra maupun intra  yang menempatakan posisi pada oposisi dan belajar tentang filsafat dan tidak tuntas sehingga menjadikan saya, “error”.


Setiap kata yang terucap dari saya, akan saya pertanyakan kembali pada hati..entah kenapa??! Seperti hidup didunia perang, serangan bertubi-tubi oleh rasa,pengetahuan,logika membuat Jati diri disudutkan atau tidak pede lagi berucap.

Seiring berjalanya waktu membaca,tidak disangka ternyata waktu sudah berjalan cepat, saya baru sadar bahwa ternyata  Pertanyaan-pertanyaan itu, telah membawa saya berimajinasi tinggi, pertanyaan tinggi , yang dikendarai oleh Buku itu.


Tanpa disadari Buku itu mampu menerobos  Ruang-ruang hati hanya dengan waktu 5 menit saya membaca, sayangnya buku itu, baru saya baca pada bagian tengahnya, jadi maaf saja, artikel ini akan dilanjutkan pada waktu yang akan dating dan kesempatan yang entah kapan,,hehehehehehe..

Salam tabi bo tanob