Selasa, 21 Oktober 2014

Memanjakan Perut dan Mata Dipuncak

Bila anda yang akan berjalan dengan motor dari arah Kotamobagu menuju Bolaang Mongondow Timur (Boltim), maka pasti akan bertemu dengan beberapa dagangan yang berbaris dipinggir jalan jalan desa Purworejo kecamatan Modayag Kabupaten Boltim.
Dagangan sederhana yang dilengkapi dengan kantin ini tak kalah dengan rumah-rumah makan mewah lainya.  Meski masih tergolong sederhana namun para pengunjungpun tak kalah ramainya. Mereka berjualan Jagung  rebus dicampur dengan cabe pedas dengan kondisi dingin yang berada dikawasan puncak Boltim itu akan terobati dengan Jagung rebus, selain itu anda juga bisa menikmati  Kopi Panas untuk lebih merasakan kehangatan saat dingginya di daerah perkebunan pohon-pohon yang hijau tersebut.
Salah satu pedagang Milu
" Biasanya ramai saat sore begitu PNS  pulang kantor mereka singga  makan jagung, yang dijual  ada yang mentah dan yang sudah masak. Kalau yang sudah masak harganya Rp.2500  dan  mentah  Rp.2000,” kata pedagang Jagung  Kusnadi Iskandar (30), warga Purworejo sembari menawarkan Jagung itu kepada Wartawan media ini.

Bukan hanya itu, anda juga bisa memanjakan mata anda dengan situasi alam sekitar yang dihiasi pepohonan rindang, selain itu juga kita  bisa melihat Sunshet atau matahari terbenam di kompleks dagangan itu. Suasana dilokasi itu cocok bagi siapa saja yang melepaskan kepenatan setelah bekerja seharian penuh.
Sangadi Purworejo, Gunawan Kastoredjo SE
Terlepas dari keindahan pemandangan dan kemanjaan mata ,tapi siapa sangka bahwa ternyata lokasi tersebut akan direncanakan dibuat Wisata kuliner oleh Pemkab Boltim.
"Insyallah kami selaku pemerintah setempat berharap sekali akan dibuatnya wisata kuliner disana," ujar Sangadi (Kepala Desa,red) Purworejo, Gunawan Kastoredjo SE ketika ditemui dikediamanya.
Menurut Sangadi, lokasi tersebut memang sangat stragis maka sudah pantas untuk dijadikan lokasi kuliner. 
"Ini juga bisa membuka lapangan kerja bagi warga sekitar, "ucap Gunawan.



Korit dan Daganganya

Siapa yang tidak kenal korit sebuah tempat yang dikenal dengan dagangannya
serta fasilitas hiburan seperti karaoke. Korit ini terletak tepat dipinggir
jalan menuju menado, sebuah tempat yang disediakan umum  bagi para pelintas jalan, terutama para sopir-sopir. Tempat dagangan  ini membentuk satu barisan di sepanjang jalan, selain dagangan makanan-makan ringan para pembeli juga dijamu dengan makanan khas bolaang mongondow yakni wajhi dan dodol, makanan yang dibuat dari  adonan gula merah dan beras pulo serta dibungkus dengan daun woka mempunyai cita rasa tersendiri.  
Jejeran Lapak Dagangan (Foto.Coleksi)  
Selain itu, tempat yang dikenal dengan hiburan 24 jam nonstop itu juga menyediakan fasilitas  karaoke yang tak kalah dengan tempat karaoeke mewah seperti yang ada di toko-toko, meskipun tempat itu masih dalam tergolong sederhana akan tetapi tak pernah mengurungkan niat setiap orang untuk pergi berkunjung menghabiskan kepenatan setelah seharian  bekerja.

Diceritakan, mulanya korit ini berangkat dari sebuah history pada tahun sekitaran 1960an, dimana pada waktu itu lokasi tersebut merupakan tempat persinggahan bagi para kelompok yang melintas, orang yang ingin melintas harus melalui sebuah jembatan kayu, entah kenapa sehingga beberapa dari kelompok itu memilih untuk tinggal sementara yang lainya pergi meneruskan perjalanan, kelompok-kelompok tadi akhirnya berinsiatif untuk membuka dagangan bagi setiap orang melintas di jembatan itu, lama-kelamaan penduduk bertambah dan membangun lagi lapak daganganya. 

“Dulunya lokasi ini hanya jadi persinggahan untuk istirahat, namun beberapa dari mereka memilih untuk membuka tempat jualan disana, lama-kelamaan jadi banyak." Kata Ketua RT Dusun Satu,Mondu Ginoga. 

Korit sendiri berasal dari nama rumput “sorit” karena dulunya tempat itu masih ditimbuni rumput sorid karena dengan pergantian zaman sehingga penyebutanpun terganti dengan nama Korit, Korit ini terletak di Desa Komangaan Kecamatan Bolaang Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), selain itu desa komangan memiliki sepuluh dusun dengan sumber ekonomi dari pertanian, rata-rata penduduk bermata pencaharian sebagai petani.  

Selasa, 14 Oktober 2014

Dari Wartawan Hingga Sejarawan

“ Pahit jangan langsung dimuntahkan dan manis jangan langsung ditelan ”.


ITULAH pekikan kalimat inpirasi  pegangan hidup oleh salah seorang jurnalis  di Bolaang Mongondow (Bolmong),  Ya, dialah Zainal Abidin Lantong seorang pria tua yang akrab disapa Tete miti ini kelahiran Motoboi Kecil, 15 juni 1937.
Zaninal Abidin Lantong 

Kotamobagu - Pada tanggal 15 April 1965, beliau menikah dengan seorang wanita berparas mongondow Ibu Suriatin Binol, dari pernikahan tersebut  mereka   dikaruniai tiga anak, masing-masing dua putera dan satu putri yakni, Drs Zainal Armin Lantong, Rutman Lantong dan Wetty Revianti Lantong.

Semasa hidupnya, Zainal Abidin menghabiskan waktunya dengan selalu berkarya menulis apa saja yang ada disekitar kita, dari profesi sebagai wartawan yang  menghantarkan dirinya menjadi seorang penulis  buku.

Salah satunya tentang sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow (Bolmong), yang mengulas tentang beberapa Eks Praja serta Tradisi Budaya Adat Kerajaan Mongondow, kini buku-buku beliau sudah di distribusikan ke seluruh pelosok sekolah  di Bolaang Mongondow (Bolmong) untuk dijadikan pembelajaran bagi siswa dan siswi.

Karinya dimulai sejak beliau menjadi siswa di Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan
( SPK ) Negeri Jakarta dimana  beliau  menjadi Pimpinan Redaksi (PIMRED) Majalah Teratai pada tahun 1957 – 1958. selain menjabat sebagai Pimred beliau juga aktif dalam berbagai organisasi diantaranya ketua Pemuda Muslim Indonesia (PMI) Ranting Motoboi kecil sekaligus menjadi Wakil Sekretaris Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Dan ketua Lembaga Kesenian Syariat Muslimin Indonesia (LAKSMI). wakil ketua Front Nasional (Sayap PSII), menjadi ketua bidang Majelis Dakwah Indonesia (MDI), ketua seksi Penerangan dan Dokumentasi Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Bolaang Mongondow serta ketua DPC Persatuan Fotografi Indonesia (PFI). Berikut adalah  latar belakang beliau :
Pada Tahun 1959 menjadi Pegawai Biro Pembangunan Masyarakat Desa di Pajaetan-Jakarta. Sekaligus ditunjuk menjadi Wartawan perwakilan Surat Kabar   Pahlawan  Terbitan Menado di Kotamobagu.
 Tahun 1968 - 1971 diangkat sebagai Reporter dan Penyiar RRI.
Tahun 1971- 1981 diangkat sebagai Kepala Stasiun Radio Pemerintah Daerah (RPD) Bolaang Mongondow, Tahun 1981-1983 menjadi Mantri Pagar Praja di Bolmong .
Tahun 1983-1985 menjadi kepala Sub Bagian Humas dan Protokol pada bagian umum  Kantor Sekretariat Daerah.
1985-1987 menjadi Kepala  Bagian Humas Kantor Sekretariat Daerah
1987-1990 menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Rsu Datoe Binangkang
1990-1993 menjadi Kepala Sub Bagian Tata Usaha Dinas Peternakan. Setelah memasuki pensiunan pada tahun 1993 itu beliau selalu  aktif menulis  di surat kabar Majalah Bogani Kotamobagu dan mendapat kartu pers dengan sttus magang dan setelah pensiunan status magang  dalam keanggotan Persatuan Wartawan Indonesia
( PWI)  berubah menjadi calon anggota (CA). Saat ini, diusia 77 Tahun, Zainal dipercayakan menjadi salah satu tokoh sejarawan Bolaang Mongondow (Bolmong), dan termasuk salah satu pembina Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow (Bolmong), meskipun sudah dimakan Usia namun hal itu tidak akan   menyurutkan tekad dan semangat beliau untuk mengabarkan dan membagi informasi tentang Sejarah, Tradisi, Budaya adat Bolaang Mongondow (Bolmong ).

Sejarah Perlawanan Rakjat Pontodon

Jauh sebelum kata merdeka di dengungkan ada sebuah sejarah perlawanan di Indonesia. Yang pastinya hal itu hampir terjadi seluruh daerah yang ada di Negeri ini. Salah satunya di daerah Bolaang Mongondow (Bolmong).

Berdasarkan penuturan Alm Hi K.C Mokoginta yang dilansir dalam catatan S.Mokoginta, dimana  pernah terjadi perang di Desa Pontodon Kecamatan Passi pada masa itu. Peristiwa perang tersebut terjadi pada tahun 1891. Diceritakan awal perlawanan masyarakat Bolmong diakibatkan saat pasukan Belanda masuk di Bolmong dan merampas hak-hak masyarakat, termasuk perkebunan milik warga. Para serdadu belanda ini membuat markas di Dayow sebuah perkebunan warga milik Pontodon kala itu. Seiring berjalannya waktu daerah kekuasan belanda lebih besar  dan hampir terlihat diseluruh lokasi perkebunan terdapat markas Belanda.
Kantor Desa Pontodon
Melihat adanya kondisi tersebut, warga Pontodon tidak hanya tinggal diam. Melalui Abo Kui Mokoginta yang disebut sebagai pimpinan perlawanan rakyat Pontodon,  melakukan protes terhadap mereka (Serdadu belanda) dengan cara mengadukan perampasan tanah wialayah perkebunan mereka kepada Raja Bolmong. Saat mendengar peristiwa tersebut, Raja Bolmong langsung mengundang beberapa kepala kelompok Belanda untuk menyelasaikan persoalan itu.  Maka dilakukanlah perundingan dan hasilnya di sepakati bahwa perluasan wilayah pembuatan markas belanda harus dihentikan. Setelah adanya kesepakatan tersebut, keadaan semakin membaik dan warga Pontodon kembali beraktifitas seperti biasanya.

Namun Setelah berjalannya waktu, perlawanan kepada Belanda kembali terjadi. Peristiwa ini disebut sebagai perang besar pada masa itu, atau perang orang Pontodon dengan Belanda. Peristiwa ini bermula saat salah satu warga Pontodon bernama Huruma yang berprofesi sebagai pedagang gula merah hendak menjual dagangannya ke markas belanda. Niat Huruma untuk mejual gula merah tersebut dianggap lain oleh pihak Belanda dan dirinya ditangkap, karena dituduh sebagai mata-mata rakyat Pontodon. Tak hanya ditangkap bahkan dirinya dipukul dan disiksa.
Catatan S.Mokoginta (Ki laki Nanon) catatn ini ditulis pada tanggal 15 april 1989 
Mengetahui kejadian tersebut, masyarakat Pontodon dibawah pimpinan Abo Kui Mokoginta melakukan perlawan dengan mengumpulkan seluruh warga desa Pontodon. Dengan menggunakan parang dan bambu runcing warga Pontodon melakukan penyerangan ke markas  Belanda yang saat itu   dilengkapi dengan senjata militernya. Karena jumlah yang terbatas dan persenjataan yang masih ala tradisonal, akhirnya masyarakat Pontodon banyak yang menjadi korban dalam perang tersebut. Ratusan warga menjadi tahanan  dan  diasingkan ke Manado dan pulau Jawa. Abo Kui Mokoginta yang saat itu lolos dalam pertempuran itu, mendapatkan perlindungan dari pihak KerajaanBolmong.
 Setelah  keadaan mulai berangsur pulih, perang mulai redah Abo kui Mokoginta kembali ke desa Pontodon dan beraktifitas kembali seperti biasa.

Meskipun dengan susah payah Abo Kui Mokoginta dan  warga lainnya kembali membangun desa Pontodon. Lahan perkebunan kembali di buka, warga kembali menanam hasil-hasil bumi seperti kopi dan tanaman perkebunan lainnya. Hingga berkahirnya masa kerajaan Bolmong, Desa Pontodon menjadi salah satu desa yang banyak memproduksi hasil pertanian di wilayah Bolmong. Demikian cerita singkat sejarah perlawanan orang-orang  Pontodon.

Sabtu, 11 Oktober 2014

Sejarah Desa Bongkudai

==Bongkudai di Ambil dari kata Bongkuk yang artinya memukul==

Dikisahkan,  mula terbentuknya asal desa bongkudai berasal  dari kata “Bongkuk” yang artinya memukul atau “dai” menggema, Konon pada saat itu sekitar tahun 1901, lokasi ini merupakan salah satu benteng perlawan oleh masa penjajahan, ini terbukti dengan adanya sejarah dimana tempat itu merupakan tempat untuk memukul gendang sebagi isyarat  bahwa tentara belanda akan segera datang. “ dulunya bongkudai ini merupakan tempat pemantau kalau misalnya pasukan belanda datang , dipukulah gendang itu sebagai  pertanda kedatangan belanda” Kata kepala desa Bongkudai Abdul Haris Damopolii di ruang kerjanya.

Pada  masa itu, desa Bongkuk dirubah menjadi bongkudai karena penggabungan kata “Bongkuk” dan “dai” yang artinya yakni pemukul gendang yang menggema dimana-mana. Seiring berjalan waktu kelompok-kelompok yang bermukim dilokasi itu semakin bertambah dan dirubahlan sttus yang awalnya pedukuan   menjadi desa sebagai daerah yang definitif dibawah kepempinan Sangadi(Kepala desa)  Atoli Mamonto sejak  tahun 1911.

Adapun kepempinan pejabat desa bongkudai  diantaranya Atoli Mamonto sejak tahun 1911 hingga 1921, dilanjutkan lagi dengan Napi Mamonto tahun 1922-1927, Koja Mamonto 1827-1932, Gb.Mokoagow 1932-1942, H.P.Mamonto 1942-1952, A.Mamonto 1952-1962, Enak Mamonto 1962-1972, Lii Mamonto 1972-1975, Adel Mokoagow 1976-1980, Muslim K. Mamonto 1980-1992, djahril.a. Damopolii 1992-2002, Drs Arief Mamonto 2003-2004, Lahana Mamonto 2004-2005, drs. Marsaoleh Mamonto 2005-2008, Mukhtar Mamonto 2008-2011, Abdul Haris Damopolii 2011 hingga sekarang.

Desa Bongkudai memiliki luas wilayah kurang lebih  5700 Hektare (Ha) yang terbagi dari perkebuan dan pertanian warga,  selain itu  desa bongkudai juga terbagi menjadi enam wilayah dusun dan memiliki mata pencaharian  sebagai petani dan tukang kebun.
Seiring dengan tingkat perkembangan penduduk yang semakin padat, desa bongkudai kini  dimekarkan menjadi dua desa otonom desa bongkudai dan desa bongkudai barat.

Cita Rasa Kopi Kotamobagu

Pecinta Kopi tentunya tak akan pernah lupa dengan yang namanya kopi kotamobagu, Kopi murni
dari kotamobagu  ini bisa anda temui diwarung mana saja yang sudah di produksi. tak heran jika akhir-akhir ini banyak yang membuka warung-warung khusus meyediakan minuman  kopi,bukan hanya itu saja bahkan warung kopi  menyediakan aneka makanan-makanan.
Kopi Kotamobagu (Foto koleksi Pribadi)

Dari segi rasanya, Kopi kotamobagu  memang tidak jauh berbeda dengan kopi lainya. Kopi kotamobagu dijual dengan harga Rp 4 ribu  per gelas, dan Rp 4 ribu per bungkusnya dengan berat 50 gram.

Kopi Kotamobagu pun  bisa dinikmati para  pecinta kopi, sebelum memulai aktivitas mereka menyempatkan diri untuk menikmati kopi asli produk  local ini meskipun bukan diwarung kopi, tapi nikmatnya kopi ini sangat terasa. “Kopi ini sangat enak, punya cita rasa tersendiri  apalagi kalau kase korot rasanya nikmat” ujar Adi pengendara bentor ketika  berbincang-bincang  disalah satu warung kopi di kotamobagu. 

Kopi murni  buatan kotamobagu sudah menjadi bagian dari daerah yang dikenal yondog ini  yang wajib untuk dijaga dan dikembangkan.    
   






Sejarah Desa Tudu Aog

==Batang Bambu, Inspiratif Warga  Desa Tudu Aog==

Masyarakat Bolaang Mongondow (Bolmong) adalah sebagai masyarakat yang unik akan tradisi budayanya, salah satunya tentang historis desa tudu aog selalu saja ada sajian  unik dan khas untuk diulas.

Diceritakan, mulanya sekitar tahun 1950an desa tudu aog masih berupa lahan perkebunan yang didiami oleh  warga bilalang. Mereka menanamai perkebunan tersebut dengan nama tudu aog yang artinya Puncak Bambu karena memang diujung perkebunan tersebut banyak ditanamai batang bambu, Mula yang hanya beberapa orang saja justru lama-kelamaan semakin banyak. Maka sekitar pada tahun1961 perkebunan tersebut dirubah menjadi bagian dari administrasi pemerintah yang  diberi nama Desa Tudu Aog. Berangkat dari perkebunan Batang Bambu itulah yang kemudian memberikan inspiratif buat masyarakat dan  meresmikan Tudu aog sebagai desa yang definitif.
Kolam Ikan milik warga
(Foto koleksi Pribadi)
Desa Tudu Aog ini masuk pada kecamatan Passi kabupaten Bolaang Mongondow,  dengan kepementahan awal dimulai dari sangadi (kepal desa) Andil umbola, setelah itu Hasani Mokoginta, Hamid Mokoginta, Dolot Mokodongam, Sair Pobela, Ambang Umbola, Haper Mokodongan, Jepe Mokoagow, Hamir Mokoginta, dan pada pemerintahan saat ini  adalah  Uri Mokodongan.

jumlah penduduk di desa tersebut hanya berkisar 900 jiwa dan sekitar 261 yang sudah berkeluarga. Mereka memiliki mata pencaharian sebagai petani Kemiri. Sayangnya  akses menuju desa tersebut  memang cukup parah mulai dari jalan yang berlubang hingga rusak total bila hujan jalan akan becek namun  jika panas justru berdebu. Bahkan menurut warga sekitar mereka sering sakit dengan kondisi tersebut “ Ya..mau apalagi kita hanya ada dipelosok” Keluh Andre sembari mengharapakan perhatian dari pemerintah.

Secara geografis letak  desa memang cukup jauh dari pusat keramaian  namun bukan berarti mereka disana tidak diperhatikan, desa tudu aog adalah bagian dari pemerintahan yang sah,  sehingganya harus ada perhatian khusus demi kelangsungan dan pembangunan masyarakat disana.

“sudah delapan tahun kita mekar sejak 2007 tapi torang tidak pernah merasanakan pembangunan”  Cetus andrian.





Sejarah Desa Bangunan Wuwuk

==Berawal dari Pohon dan Sungai Lahirlah Desa==

Pada zaman dahulu kala, ada tanaman dan pepohonan yang hidup besar di tengah-tengah pemukiman gunung, disamping pohon itu juga terdapat sungai yang katanya sangat angker.

Seiring perjalan waktu, pemukiman itu dilewati oleh sekelompok orang dari desa minahasa menuju ke desa dumoga. Saat melewati pemukiman itu sebagian dari kelompok memilih menetap di lokasi  dan sebagianya lagi melanjutkan perjalanan. 

Lama kelamaan dengan kelompok yang semaki banyak, akhirnya mereka memutuskan untuk membuat sebuah desa  yang kini dinamai bangunan wuwuk
pada tahun 1948 pemukiman tersebut menjadi definitif sebagai desa. Bangunan wuwuk sendiri mempunyai arti a bangunan adalah sungai dan wuwuk merupakan pohon  yang sangat  besar,. Pada waktu itu desa itu dipimpin sangadi oelh sangadi pertama Frans Rompas namun beliau menjabat hanya satu tahun dari 1948 hingga 1949, setelah itu dilanjutkan dengan Altin Rumengan dengan masa kepemimpinan hingga 1956 sdan dilanjutkan lagi dengan Karel Mintje,Welem Lombogia,Yohanis Rompas Robert Lumi, Yes Rompas, Ayub Sembel H.A.Rumengan, M. Irompas,Da Emes, E.Baganias serta  yang menjabat  kepala desa saat ini J Manglede. 

Dibawah pimpinan Manglede,  pada tahun 2012 lalu desa bangunan wuwuk telah dimekarkan menjadi dua desa diantaranya bangunan wuwuk timur dan dan desa bangunan wuwuk  

Sementara itu, masyrakat desa bangunan wuwuk mempunyai sumber ekonomi dari petani baik tumbuhan sayur dan padi.